Tekanan Sistolok dan Diastolik

Memaknai Peran Tekanan Darah Sistolik

Penelitian membuktikan, tekanan darah sistolik lebih penting dalam memprediksi komplikasi kardiovaskuler. Penurunan tekanan darah sistolik, akan disertai penurunan risiko kardiovaskuler.
Seseorang disebut menderita hipertensi, jika tekanan sistolik sebesar 140 mm Hg atau lebih, atau tekanan distolik 90 mm Hg atau lebih.
Tanpa pengobatan, sekitar 30% orang berusia 20 tahun di Amerika Serikat mengalami hipertensi. Prevalensi ini
Prevalensi hipertensi meningkat bersamaan dengan bertambahnya usia. Sekitar dua pertiga orang berusia 60 tahun. menderita hipertensi. Dalam penelitian Framingham Heart Study, hipertensi berkembang pada lebih dari 9O% partisipan yang memiliki tekanan darah normal di usia 55 tahun. Pola peningkatan tekanan darah pada populasi Amerika Serikat, berubah bersamaan dengan penuaan. Sebelum mencapai usia 50 tahun, sebagian besar penderita hipertensi memiliki tekanan darah diastolik yang tinggi. Namun, bersamaan dengan terus meningkatnya tekanan sistolik, sementara tekanan darah diastolik cenderung turun, isolated systolic hypertension (lSH) akirnya lebih banyak (mendominasi.)
Prevalensi ISH meningkat, bersamaan dengan penuaan. Diperkirakan, saat ini ada 20 % mereka yang berusia 75 tahun, menderita ISH. Oleh karena itu, bersamaan dengan penuaan,jumlah pasien dengan gangguan ini akan meningkat, menjadikannya sebagai masalah yang sering ditemui dalam praktik sehari-hari Untuk beberapa alasan tertentu, perhatian telah diberikan pada tekanan darah sistolik dalam isolated systolic hypertension. Tetapi,mempertimbangkan tekanan darah distolik juga memberikan pemahaman yang lebih baik pada penyakit terebut. "Tekanan darah sistolik dan diastolik secara bersamaan, berperan penting dalam memprediksi komplikasi kardiovaskuler pada penderita hipertensi.
Pada 1927, Fineberg adalah orang pertama yang membagi pasien hipertensi menjadi kelompok sistolik dan distolik. Selama berlahun-tahun terjadi perubahan mencolok mengenai pandangan, apakah ISH - awalnya dianggap bukan penyakit - adalah suatu konsekuensi alamiah dari penuaan yang tidak membutuhkan Pengobatan.
Kemudian, kondisi ini terbukti berubungan dengan angka mortalitas yang lebih tinggi, dibandingkan orang dengan usia yang sama tanpa peningkatan tekanan darah sistolik. Ada pendapat yang menyatakan, memberikan terapi anti hipertensi pada pasien dengan isolated systolic hypertension sangat berisiko karena menurunkan tekanan darah sistolik dapat mengindusi stroke, pada pasien yang memiliki penyakit kardiovaskuler sub klinis.
Ketakutan ini meningkat setelah keluar hasil penelitian Systolic Hypertension in the Elderly Program (SHEP) dan Systolic Hypertension in Europe Trial. Ditunjukkan mengenai manfaat penurunan tekanan darah pada pasien dengan ISH menggunakan hydrochlorothiazide atau kalsium kanal antagonist jangka panjang nitrendipine. Sejak publikasi hasil penelitian-penelitian ini, perhatian kemudian mengarah pada tekanan darah sistolik.

Penelitian klinis
Banyak dokter enggan mengobati ISH, karena masih meyakini hal itu sebagai kondisi ringan. Mereka takut, menurunkan tekanan darah sistolik akan menyebabkan stroke, penurunan fungsi ginjal dan gangguan fungsi kognisi. Meski penekanan diberikan pada morbiditas dan mortalitas ISH, bukti-bukti penelitian klinis yang menunjukkan bahwa pengobatan ISH dapat menurunkan outcome buruk. baru bermunculan di awal 1990-an.

Penelitian Sl-lEP
Systolic Hypertension in the Elderly Program (SHEP) adalah penelitian skala besar pertama, yang mendokumentasikan manfaat pengobatan ISH. Sebanyak 4.736 pasien yang terlibat dalam penelitian ini, berusia 60 tahun atau lebih. Partisipan diberi pengobatan bertahap dengan chlorthalidone. Atenolol ditambahkan pada reeimen pengobatan, jika target tekanan darah tidak bisa dicapai hanya dengan chlorthaLidone. Tujuannya adalah untuk nenurunkan tekanan darah sistolik kurang dari 160 mm Hg. untuk Pasien dengan tekanan darah awal 180 mm Hg dan untuk menurunkan tekanan sistolik sampai 20 mm Hg. Pada mereka dengan tekanan awal 160 and 180 mm Hg. End poin primer adalah jumlah stroke fatal dan non fatal, pada pasien yang mendapatkan pengobatan dibanding pasien yang mendapatkan plasebo. End poin sekunder adalah kejadian kardiak dan moftalitas keseluruhan, pada kedua kelompok.
Selama periode 5 tahun follow up, penelitian SHEP menunjukkan tekanan darah sistoik rata-rata sebesar 155 mm Hg, pada pasien Yang menggunakan plasebo dan 143 mm Hg pada pasien yang mendapat pengobatan. Hasilnya  jumlah stroke dapat diturunkan sampai 36% pada kelompok yang mendapatkan pengobatan, dibanding kelompok yang mendapatkan plasebo. Analisa endpoin sekunder menunjukkan, infark miokard non fatal vplus kematian akibat gangguan kardiak menurun sampai 2l%o, dan kejadian kardiovaskuler utama sampar 32%. Insiden gagal jantung kongestif menurun sampai setengahnya, pada kelompok yang mendapat pengobatan. Penurunan I3% pada kematian akibat berbagai sebab pada pasien yang mendapat pengobatan, tidak mencapai signifikansi statistic.

Penelitian SYst-Eur
Systolic Hlpertension in Europe (SystEur) dilakukan pada waktu yang sama dengan penelitian SHEP. Sebanyak 4.695 pasien yang dilibatkan berusia 60 tahun, memiliki tekanan sistolik imtara 160 dan 219 mmHg dan tekanan diastolik di bawah 95 mm Hg. KePada Pasien secara acak diberikan dihidropiridine aksi panjang, calcium chanel blocker, nitrendipine atau plasebo. Jika tekanan darah tidak terkendali secara optimal, ditambahkan enalapril, hydrochlorothiazide atau keduanya.
Selama 2 tahun Periode follow uP pasien yang mendapat pengobatan memiliki tekanan darah sistolik yang lebih rendah dengan rata-rata 10 mm Hg disbanding kelompok plasebo. End point primer adalah stroke fatal dan non fatal. Pengobatan aktif menurunkan jumlah stroke total sampai 42%, strokenon fatal sampai 44%, dankejadian kardiak sampai 26%. Sebagaimana pada penelitian SHEP, mortalitas total tidak menurun secara signifikan dengan Pengobatan aktif.
Penelitian STONE
The Shanghai Trial of Nifedipine in the Elderly (STONE) adalah suatu penelitian mengenai efek nifedipine aksi panjang, pada pasien hipertensi usia lanjut berusia 60-79 tahun. Hasil penelitian menunjukkan, pengobatan lebih superior dibanding plasebo. Risiko kardiak atau kejadian vaskuler, menurun sampai 59% pada kelompok pengobatan.

lmplikasi Penelitian Klinis
Penelitian SHEP daa Syst-Eur memberikan bukti kuat, bahwamengobati ISH
dapat secara signifikan menurunkan insiden stroke, kejadian kardiak dan gagal jantung kongestif. Analisa data Syst-Eur mengindikasikan, untuk setiap 1000 pasien yang diobati selama 5 tahun, 29 kejadian stroke dan 53 kejadian kardiak dapat dicegah.
Penelitian Syst-Eur dan STONE seharusnya dapat meyakinkan para praktisi medis, bahwa dydropyridinecalcium channel blocker aksi panjang aman digunakan pada usia lanjut dan populasi lain yang bersiiko tinggi mengalami kejadian kardiovaskuler. Meski pun, berdasar publikasi, short-acting calcium channel blockers memiliki dampak buruk.

Terjadinya lSH
Banyak orang meyakini, ISH adalah konsekuensi alami dari penuaan. Pada masyarakat yang lebih primitive, tidak ditemukan adanya peningkatan tekanan darah akibat penuaan. Mereka menjaga lean body mass dan secara fisik aktif. Faktor-faktor yang mungkin berperan pada tingginya prevalensi ISH, yang terlihat pada masyarakat negara Barat, meliputi tingginya kadar lemak dalam tubuh, gaya hidup sedentary dan peningkatan asupan sodium.
Salah satu faktor terpenting dari berkembangnya ISH, adalah hilangnya elastisitas pada aorta dan arteri periferal. Karenanya menjadi kehilangan kemampuan untuk meregang. Beberapa kompensasi bisa dicapai dengan mendilatasi aorta. Aorta dengan kemampuan elastisitas normal, mampu menyerap energi yang dilepaskan saat ejeksi ventrikuler, sehingga menahan tekanan darah sistolik. Pemeriksaan histopatologis aorta pasien usia lanjut di masyarakat Barat, secara tipikal menunjukkan penebalan aorta dan media akibat akumulasi serat kolagen dan deposisi kalsium.
Peningkatan output kardiak, dapat berperan penting dalam ISH. Selain itu, pasien usia lanjut cenderung memiliki volume plasma yang relative rendah, dan kadar renin serta aldosteron yang rendah pula. Ekskresi garam ginjal cenderun menurun pada pasien-pasien ini. Hal ini, kemungkinan disebabkan sensitivitas garam yang relative lebih besar, disbanding orang berusia yang lebih muda. Penurunan kadar kalsium akibat peningkatan kalsiuria dan asupan diet yang buruk, dapat juga meningkatkan resistensi periferal, menyebabkan hipertensi.
Kontribusi aterosklerosis pada kekakuan aorta yang sering ditemukan pada usia lanjut, secara konseptual mudah dibedakan. Tetapi, tidak dalam praktik sehari-hari. Berkenaan hemodinamik, aterosklerosis dini adalah kelainan intima media arteri. Sementara, penuaan membuat kaku media tersebut, menyebabkan perubahan patologis. Aterosklerosis pada aorta, tidak diragukan lagi, berkontribusi pada hilangnya kemampuan peregangan aorta. Jika berkombinasi dengan proses penuaan, penurunan kemampuan ini menjadi lebih buruk.

Evaluation
Evaluasi awal pada pasien dengan hipertensi sistolik, harus mencangkup pemeriksaan adanya faktor risiko kardiovaskuler lain, kerusakan end-organ, penyakit penyerta yang memengaruhi prognosis dan pengobatan, penyebab hipertensi yang dapat diidentifikasi (hipertiroidisme). Juga faktor gaya hidup yang berpotensi berkontribusi (pola makan dan olahraga). Detail mengenai durasi dan severitas hipertensi, juga harus dipertanyakan.
Kemunculan hipertensi secara tiba-tiba, meningkatkan kecurigaan hipertensi sekunder. Informasi mengenai kondisi medis yang menyertai, juga harus ditanyakan. Pasien dengan riwayat penyakit kardiak, ginjal dan vaskuler harus mengendalikan tekanan darahnya secara lebih agresif, daripada pasien tanpa kondisi ini. Perlu juga ditanyakan kebiaasaan sehari-hari, mencakup konsumsi alkohol, penggunaan tembakau dan aktivitas fisik.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik harus mencakup pemeriksaan optic fundi, tiroid, jantung, ginjal, denyut peripheral, dan sistim neurologis, dengan memberi perhatian terhadap tanda-tanda insufisiensi aorta, hipertiroidisme, atau penyakit Paget pada tulang. Pada beberapa kasus, arteri peripheral bisa menjadi kaku, sehingga mengukur tekanan darah dengan arm cuff standar bisa menyebabkan kesalahan dalam memperkirakan tekanan arteri karena kompresi yang tidak sempurna pada arteri brankial. Pseudohipenensi semacam ini harus dipertimbangkan, terutama pada pasien hipertensi yang tidak merespon terapi. Atau, menunjukkan gejala postural setelah diberi pengobatan.
Tekanan darah harus diukur dengan pasien dalam posisi duduk dan berdiri. Pasien usia lanjut berisiko tinggi mengalami hipotesi orthostatik. Pasien harus berada dalam posisi berdiri setidaknya selama 1 menit, sebelum pengukuran dilakukan. Penelitian SHEP menunjukkan, orthostatikmenurunkan lebih dari 20 mm
Hg tekanan darah sistolik, pada 17% kelompok penelitian.

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin dan pemeriksaan elektrokardiografik, harus dilakukan untuk mengevaluasi risiko kardiovaskuler dan risiko kerusakan end orqan. Harus dilakukan pemeriksaan protil kimia serum, untuk menegakkan adanya diabetes, penyakit ginjal atau hipokalemia. Penyakit ginjal kronis adalah penyebab terbanyak hipertensi sekunder pada usia lanjut. Maka, jika terjadi hipokalemia yang tidak diketahui penyebabnya, harus dicurigai adanya hiperaldoteron.
Pemeriksan urinalisis harus dilakukan, untuk mengesampingkan proteinuria, suatu tanda penyakit renovaskuler yang disebabkan hipertensi yang berkepanjangan. Suatu pemeriksaan elekffokardiogram bisa menunjukkana adanya infark miokard, aritmia atau hipertrofi ventrikuler kiri. Sensitivitasnya untuk hipertrofi ventrikuler kiri buruk. Pada satu penelitian sensitivitasnya berkisar 9- 39%, bergantung pada kriteria yang digunakan.
Ekokardiografi adalah gold standard, untuk mendiagnosa hiperlrofi ventrikuler kiri. Sayangnya, tidak cost effective untuk setiap pasien dengan hipertensi . Jika pasien memiliki tanda atau gejala gagal jantung kongestif, echocardiography diindikasikan untuk menilai sistolik ventrikuler kiri dan fungsi diastolic. Pemeriksaan ini juga diindikasikan, jika pemeriksaan fisik menunjukkan adanya penyakit jantung valvular.

Kekhawatiran Penuruan ISH
Kekhawatiran yang ada saat ini adalah, apakah menurunkan tekanan darah diastolik secara berlebihan bisa memberi efek yang kurang baik. Penelitian-penelitian hanya melibatkan pasien dengan tekanan diastolik (90 mm Hg), dengan penurunan rata-tata tekanan darah diasiolic sebesar 5-6 mm Hg. Kurva J tidak dibicarakan dalam penelitian SHEP atau Systolic Hypertension in Europe Trial, dimana tekanan darah diastolik jelas menurun sampai padabesar yang sama. Dalam follow upnyajuga tidak terbukti.
Bagaimana pun, dalam analisa terkini dari data SHER hubungan resPon dan dosis terlihat pada pasien yang ditangani karena terjadi gangguan kardiovaskuler yang lebih besar, ketika tekanan darah diastolik diturunkan sampai kurang dari 70 mm Hg. Meski begitu, potensi risiko dari tekanan darah disatolikrendah, lebih kecil daripa manfaat yang bisa didapat dari penurunan tekan darah sistolik.